Kekayaan
intelektual
Kekayaan Intelektual atau Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual
Property Rights(IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa
Jermannya[1]. Istilah atau terminologi Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790.
Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si
pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku
sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya.[2] Istilah
HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual.
Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun
dijual.
Adapun kekayaan
intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir
seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis,
karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia.[4] Objek
yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia [5] Sistem
HKI merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan
permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang
diberikan Negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan
sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)
nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya
lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan
melalui mekanisme pasar. Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga
kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat
dihindari atau dicegah. Dengan dukungan
dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya
dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut
untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi [6]
·
== Teori Hak Kekayaan
Intelektual ==
- Teori
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John
Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik
dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak
manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang
berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik
atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas
manusia[7]
Sejarah Perkembangan Sistem Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual di Indonesia
·
Secara
historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada
sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang
pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah
Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun 1910, dan
UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands
East-Indies telah menjadi angota Paris Convention for the
Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid
Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne
Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works sejak
tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945,
semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada
tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan
perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun
tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan
pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan
Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia
(sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus
dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
·
Pada tahun
1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat
peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten, yaitu Pengumuman
Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17
yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
·
Pada tanggal
11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU
No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini
untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
·
10 Mei 1979
Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris Convention for the
Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)
berdasarkan keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam
Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian
(reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan
Pasal 28 ayat 1.
·
Pada tanggal
12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk
menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun
1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan
hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat
pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
·
Tahun 1986
dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23
Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui
keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama Tim
Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI,
perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem
HKI di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat
luas.
·
19 September
1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No.
12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
·
Tahun 1988
berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan pembentukan Direktorat
Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan
tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II
di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen
Kehakiman.
·
Pada tanggal
13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten yang
selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden RI
- pada
tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus
1991.
- 28
Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek,
yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek tahun 1961.
- Pada
tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act
Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations, yang mencakupAgreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
- Tahun
1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di
bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989
dan UU Merek 1992.
- Akhir
tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu : (1) UU No. 30
tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain
Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu.
- Untuk
menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects
of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan UU No 14
Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua UU ini
menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002,
disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang
lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
- Pada tahun 2000 pula disahkan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004.
REFERENSI